Thursday, December 31, 2020

Kilas balik: Papa

Bulan Desember bisa dibilang adalah bulan yang menyenangkan sekaligus menyedihkan bagi saya. Bulan yang menyenangkan karena ada libur Natal dan Tahun Baru namun juga menyedihkan karena ada beberapa kenangan yang tidak mengenakkan, salah satunya adalah kepergian Papa saya untuk selama-lamanya sekitar 16 tahun yang lalu. Seiring dengan berjalannya waktu perasaan sedih saya "hilang" namun di sisi lain saya tidak ingin melupakan beliau.  Di postingan ini saya merefleksikan pengalaman-pengalaman bersama beliau untuk mengingat kembali tentang dia,  terutama pengalaman yng bisa jadi membentuk kebiasaaan atau bahkan jalan hidup saya sampai saat ini:

  • Saya suka makan KFC karena Papa saya. Selain memang KFC itu enak bagi saya, beliau yang pertama kali memperkenalkan KFC ke saya. Waktu itu KFC di Salatiga belum ada restorannya, tapi mereka datang dengan bentuk food truck.
  • Saya suka membeli buku karena Papa saya. Berhubung Papa saya berprofesi sebagai dosen, dia sering sekali membeli buku. Walau mungkin tidak semuanya dibaca, dia selalu bilang bahwa buku itu investasi. Sering tiap weekend kami sekeluarga ke Semarang dan pasti kita mampir ke Gramedia untuk lihat-lihat buku. Kebiasaan ini terbawa sampai kuliah di Bandung, namun sayangnya kalau saya beli buku (biasanya di Palasari) terus kebanyakan dibuang. 
  • Saya suka menonton sepakbola (terutama tahun 1995 - 2008) karena Papa saya. Papa saya merupakan penggemar AC Milan dan tim nasional Belanda. Pertama kali diajak nonton AC Milan itu pertandingan Piala Toyota tahun 1992, AC Milan vs Sao Paulo. Sayang AC Milan kalah waktu itu. Sering juga nonton di dinihari terutama pertandingan timnas Belanda. Biasanya beliau yang membangunkan saya. 
  • Kriteria memilih pacar, dipengaruhi oleh Papa saya. Katanya sih, kalo bisa cari pacar/istri yang cantik dan intelek.  Ahahahaha!
  • Saya mengubur cita-cita menjadi pemain bola profesional karena Papa saya. Waktu semasa SD dan SMP saya suka sekali main bola di lapangan dekat rumah bersama teman satu kompleks tiap sore. Saking senengnya, jadi bermimpi untuk mendaftar ke klub. Ketika saya bilang ke beliau, kira-kira responnya itu begini "Emang kamu yakin? Jadi pemain bola itu mainnya harus pakai otak, tidak cuma maen saja." Sehabis itu saya melupakan cita-cita tersebut. 
  • Saya mengubur cita-cita mendaftar ke SMU Taruna Nusantara (TN) karena Papa saya. Waktu lulus SMP, saya ingin mencoba mendaftar ke TN karena kelihatannya keren gitu. Ketika saya bilang ke beliau, kira-kira responnya itu begini, "Emang kamu kuat dipanggang di lapangan siang-siang, baris-berbaris dll?" Sehabis itu saya melupakan cita-cita tersebut.
  • Saya suka melucu karena Papa saya. Walau kelihatan serius, beliau orangnya lucu dan cenderung jahil ke anaknya. Ada satu yang saya ingat jelas, waktu itu Mama saya komplain ke beliau, "Ste, ini baju-baju taruh di kamar mandi!". Mama saya orangnya rapi banget, jadi dia sering teriakin kalo ada yang gak rapi.  Ya dengan pasrah ya beliau ambil baju-baju dia, kemudian ditaruh di kamar mandi. Namun setelah itu saya lihat, dia malah masuk ke kamar saya. Saya bingung.. Ga disangka-sangka, dia malah teriak dari dalam kamar saya, "Maaaaa, ini Sammy juga banyak baju kotor di kamarnya." Ampun dah saya kaget campur takut. Ya banyak cerita lain, seperti malam-malam dia ketuk2 jendela kamar saya untuk nakut2in dll. 
  • Saya tertarik dengan matematika karena Papa saya. Entah kenapa waktu itu ketika diajarin di rumah sama beliau jadi lebih asyik saja.

Kembali mengenai perasaan sedih yang tampaknya sudah "hilang", ada peristiwa yang cukup menarik bagi saya. Satu saat pernah menonton video Youtube dari Jerome Polin ketika dia pulang ke Indonesia tanpa bilang-bilang keluarganya (kejutan). Saat dia bertemu keluarganya dan berpelukan dengan ayahnya, adegan tersebut tanpa saya duga membuat saya menitikkan air mata :D .  Saya pikir saya sudah benar-benar "melupakan" atau istilahnya move on lah ttg kenangan Papa saya, namun adegan simple seperti itu benar-benar membangkitkan memori lama. Tampaknya memori tentang orang tua itu sangat dalam dan mau gimana juga tidak akan pernah terlupakan. Kalau kata adik saya, kadang hidup itu seperti denial begitu, berusaha melupakan sesuatu (e.g. kesedihan) tapi sebenarnya tidak bisa.  Ibarat luka, lukanya masih menganga. 

Monday, March 13, 2017

Kevin/Gideon Juara Ganda Putra All England 2017

Setelah berakhirnya karir M. Ahsan/Hendra Setiawan, nampaknya Indonesia tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan penggantinya. Hal ini ditunjukkan dengan keluarnya Kevin Sanjaya Sukamulyo / Gideon Markus Fernaldi sebagai juara ganda putra All England 2017. Kevin/Gideon (Kegid) tampil sangat taktis di partai final dan berhasil mengalahkan pasangan China dengan meyakinkan, dua set langsung dengan durasi hanya 35 menit. 

Melihat sepak terjang pasangan Indonesia ini cukup menarik. Ketika melihat permainannya, kesannya mereka mainnya tidak ada pola, karena bola-bolanya sangat membingungkan susah ditebak. Mungkin ini yang menjadikan lawan sangat susah membaca strategi Kegid. Di samping itu mereka memiliki kecepatan yang luar biasa, baik dalam pergerakan di lapangan maupun ketika adu pukulan dengan lawan.

Kevin, yang lebih muda, mengingatkan saya kepada Sigit Budiarto, pemain nasional Indonesia di era 90-an sampai 2000-an awal. Sigit memiliki pukulan-pukulan yang tidak standar, baik dalam pukulan serang maupun bertahan. Menariknya, Sigit merupakan pelatih Kevin semasa junior di PB Djarum. Di partai semifinal dan final, bisa dilihat bagaimana cepatnya tangan Kevin dalam melakukan pukulan drive datar dan adu netting dengan lawan. Selain itu dia juga agak "antik" karena kadang-kadang suka mengintimidasi lawan, yang menjadikan permainan menjadi lebih menarik. Bisa dibilang talenta seperti Kevin mungkin cuma muncul 10 tahun sekali. Badminton Indonesia perlu bersyukur memiliki pemain seperti ini, masih muda, bertalenta tinggi, pantang menyerah, pekerja keras. Jalan masih panjang untuk Kevin, All England hanyalah awal, sisanya tergantung bagaimana Kevin bisa fokus ke depannya.

Gideon, yang lebih senior walau kurang didengung-dengungkan di media, juga pemain yang tidak kalah hebatnya. Semangat juangnya luar biasa, ini bisa dilihat pada partai semifinal melawan Denmark. Walaupun serangan mereka agak susah ditembus, mereka tidak menyerah begitu saja dan terus mencari jalan keluar. Seperti Kevin, Gideon sama lincahnya dan biasanya smash keras dari Gideon di belakang yang sering mematikan lawan. Sebelum berpasangan dengan Kevin, Gideon cukup beruntung bisa bermain bersama dengan Markis Kido (peraih medali emas Olimpiade 2008). Dengan Markis, dia pernah meraih gelar Superseries di Perancis Terbuka walaupun pada saat itu dia tidak tergabung dengan Pelatnas. 

Menurut saya, pasangan ini bisa dikatakan sudah dalam level elit dunia. Walau mereka memiliki postur yang kecil, mereka memiliki semangat juang luar biasa dan juga didukung didukung teknik tinggi. Semoga di turnamen-turnamen besar mendatang, seperti Kejuaran Dunia, Asian Games 2018 dan Olimpiade 2020 mereka dapat menorehkan prestasi yang baik.

Selamat Kevin dan Gideon,  terima kasih sudah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Indonesia BISA!


Wednesday, March 08, 2017

Snapshot 2013 - 2016


Saya tidak tahu mengapa saya menulis post ini, tapi kayaknya saya ingin berbagi pengalaman saja yang saya alami dalam 3 tahun terakhir. Tahun 2013, saya memutuskan untuk meninggalkan Fasilkom UI untuk studi lanjut di US. Selain saya sudah dapat beasiswa, saya juga sudah
diterima di beberapa universitas. Akhirnya saya memutuskan menerima tawaran dari SUNY Stony Brook. Saat itu saya hanya tahu ada satu Prof. di bidang Natural Language Processing (NLP) di universitas tersebut.  Sejujurnya, pada saat itu saya merasa tidak sreg, ya ada perasaan tidak yakin dan kuatir saat akan pergi. Takutnya tidak cocok. Saya sangat merasakan itu waktu di bandara waktu mau berangkat, semacam tegang nggak jelas begitu. 

Computer Science PhD program di Stony Brook memiliki beberapa fase, pertama kita harus lulus qualifier exams, research proficiency exams, proposal defense, dan akhirnya defense yang terakhir. Tidak sedikit yang gagal dari fase-fase tersebut maupun memutuskan berhenti untuk bekerja di industri, tidak mendapatkan advisor yang cocok dan lain lain. 

Qualifier Exam

Untuk qualifier exams, kita harus mendapatkan nilai minimal A- untuk course bucket tertentu. Ini gampang-gampang susah bagi saya. Paling enak kalau kelasnya campur dengan anak master, persaingan jadi jauh lebih mudah. Paling sengsara kalau kelasnya khusus mahasiswa PhD, ini semacam ladang pembantaian karena masing-masing berkompetisi untuk lolos dan semuanya kompetitif. 
Di semester pertama, banyak sekali kesulitan, mungkin salah satunya karena belum tune in dengan suasana perkuliah yang cukup intense. Di semester ini saya tidak lolos quals exams. Ya agak stress juga tetapi karena salah saya juga karena tidak terlalu all out. 
Semester kedua dan ketiga saya jauh lebih serius, 5 quals sukses beruntun. Sampai sekarang juga masih bingung kok bisa langsung 5 beruntun begitu, saya pikir bakal lolos 3-4 saja maksimalnya hehe. Ya mungkin karena fokus banget dan banyak doa juga. 

Research

Mungkin saya termasuk PhD student yang kurang beruntung, ketika saya datang ternyata Prof. yang menjadi target saya, malah pindah ke universitas lain. Sayangnya lagi saya belom jadi student-nya jadi tidak bisa ikut pindah. Belakangan saya melihat turn over Prof. di CS Stony Brook sangat tinggi, biasanya new hire cuma bertahan 4-5 tahun lalu mereka pindah ke univ yang lebih bergengsi. Sekitar dua tahun saya tidak ada  advisor. Jadi di saat sebagian besar teman-teman saya sudah mulai riset, saya belum memulai sama sekali. Tapi ya untungnya 3 semester pertama masih ada coursework jadi saya masih ada kerjaan juga. Di akhir tahun kedua saya (2015), ada Prof. baru di bidang NLP, sebut saja namanya Prof. Bambang. Karena saya tidak ada pilihan lain, saya mencoba untuk bekerja dengan Prof. Bambang. Saat itu dia memiliki project grant, yang walaupun saya tidak terlalu suka projectnya, saya memutuskan untuk mencobanya. Saya pikir, yah mungkin saya cuma bekerja untuk 1 semester tentang project ini, kemudian saya bisa mengerjakan yang benar-benar saya sukai. Beberapa bulan pertama, sama-sama belum tahu arahnya ke mana, namanya juga riset. Setelah beberapa lama kira-kira arahnya dapet, intensitas  meroket jauh. Tiap hari saya perlu menulis email apa yang ingin saya kerjakan, apa yang saya kerjakan kemarin dan lain-lain. Bahkan ada kalanya sekitar sebulan penuh, ada meeting setiap hari. Ada kalanya beliau ngambek kalau beberapa hari tidak ada email laporan. Prof. Bambang juga selalu menargetkan untuk submit ke conference yang top di bidang NLP seperti ACL, EMNLP, NAACL. Setelah lebih dari setahun melakukan hal itu dan berkutat di problem riset yang sama akhirnya saya  burn out juga sekitar Mei 2016. Dan saya juga mulai merasa tidak cocok dengan advisor dan begitu juga sebaliknya. Banyak hal terjadi, untuk detilnya tidak bisa saya ceritakan, namun saya sudah sampai di satu titik di mana saya benar-benar kehilangan respek dan tidak bisa bekerja sama. Mengenai burn out atau stress, macam-macam penyebabnya. Riset TIDAK SAMA dengan kuliah. Kalau kuliah, Anda  sangat diarahkan, "tinggal" baca buku, ikut ujian, habis deh. Yah singkatnya, riset jauh lebih susah dan tidak jelas karena harus memformulasikan problem yang ingin dipecahkan dan mencari cara yang "inovatif" untuk menyelesaikannya. Selain itu dalam prakteknya banyak sekali hal-hal yang mungkin bisa menguras mental juga. Mulai dari ide-ide yang ternyata gagal, ketika mendapat ide ternyata sudah ada orang yang mencoba, berkali-kali cuma memperbaiki anotasi data, bersihin data, dan beribu-ribu hal yang mungkin orang-orang menganggap itu "remeh". Namun setelah dijalani ya memang ada kalanya PhD seperti itu, kita yang ngerjain semuanya, coder iya, tester iya, researcher iya, project manager iya, writer iya. Hal ini juga yang membuat saya malas kalau ada orang yang lagi PhD dan complain tentang data misal maunya riset kalau datanya sudah bersih, gak mau anotasi dll. Jangan manja coy! :P Yah walau di awal saya pernah complain juga sih haha. 

Exit

Tanggal 29 Juli 2016 merupakan hari yang bersejarah :D , karena hari tersebut saya melakukan Research Proficiency Exam  (RPE) dan hari itu juga adalah pengumuman hasil submission paper ke EMNLP. Dalam perjalanan ke tanggal tersebut juga sangat berat, banyaaaak hal yang terjadi yang menguras mental. Secara psikologis saya dalam kondisi yang bisa dibilang terburuk. Namun syukur kepada Tuhan saya lolos RPE siang itu dan sorenya dapat kabar dari Prof. Bambang, paper ke EMNLP diterima. Hmm, ini agak mixed feeling. Ada rasa bangga karena kerjaan setahun lebih ada hasilnya dan nggak tanggung2 masuk ke EMNLP namun di satu sisi saya tidak merasakan apa-apa juga karena secara psikologis saya lagi down banget dan sudah capek mental banget. Agustus saya pulang ke Indonesia dan berpikir secara serius apakah langsung pulang ke Fasilkom atau mencoba 1 semester lagi sambil mencari Prof. lain. Akhirnya saya kembali ke US, dan mencoba untuk melakukan independent study dengan Prof. lain. Menariknya Prof. yang baru ini orang Indonesia, namun belum datang ke Stony Brook. Kerennya lagi dia bekerja di Google Deep Mind (London, UK). Jadi saya cuma remote independent study sekitar 2 bulanan bersama dia. Pada bulan November, melihat ketidakpastian yang tinggi mengenai advisor dan juga funding dan setelah berpikir berkali-kali tentang segala macam alternatif saya memutuskan untuk withdraw dari Stony Brook. Kembalilah saya ke Fasilkom UI.


Berikut ini hal-hal random yang saya pelajari atau pertanyaan yang sering ditanyakan:
# Apakah tempat melakukan studi itu penting?
Menurut saya iya. Kemarin waktu di Stony Brook itu lokasinya kayak ndeso banget, kemana-mana jauh. Pemandangan bikin frustasi dll. Ya kadang kan kita butuh ya refreshing jalan-jalan di sekitar, tapi kalo di situ gak ada apa-apa, seriusan. 

# Komunikasi
Komunikasi dalam melakukan riset itu sangat penting. Bagaimana caranya Anda dapat menjelaskan dengan baik tentang ide Anda, bagaimana menjelaskan konsep yang rumit agar mudah dimengerti. Nggak ada gunanya kalau Anda "pinter" sendiri. 

# Apakah Anda merindukan Stony Brook?
Sama sekali tidak. Saya juga bingung bisa bertahan di sana selama itu.

# Apakah Anda tidak suka dengan Prof. Bambang?
Dulu pernah merasa begitu, tapi sekarang mungkin cenderung mikir, ya memang tidak cocok saja. Dan terus terang saya BELAJAR BANYAK dari dia. Namun kalau sebelumnya saya sudah tahu orangnya dll, peluangnya kecil saya mencoba bekerja sama dengan dia begitu juga sebaliknya. Tapi beliau Prof. baru dan tidak punya murid sama sekali sebelumnya jadi tidak mungkin saya bertanya pengalaman murid sebelumnya. 

# Apakah akan S3 lagi?
Saya belum tahu. Saya benar-benar capek mental dan belum siap berkomitmen lagi untuk S3. Tapi jujur saja masih sangat excited kalau melihat paper-paper yang seru (baca : topiknya saya suka). Sudah ada acceptance juga dari salah satu univ di UK (saya apply December lalu) tapi beasiswanya masih belum jelas. 

# Bagaimana tanggapan orang tua Anda ketika Anda memutuskan untuk berhenti?
Ya tentu saja kecewa. Tapi saya tidak terlalu ambil pusing, susah menjelaskannya. S3 itu kompleks dan tidak seperti S1/S2. 

# Apakah advisor atau topik yang lebih penting dalam PhD
Advisor. Hubungan antar manusia jauh lebih rumit daripada berusaha menyukai topik tertentu.

# Bagaimana perasaan Anda ketika ada yang menanyakan "kok pulang Fasilkom? Sudah lulus S3-nya? "
Capek sih sebenarnya. Kalau jawab seadanya, ntar mereka mikirnya, ah gitu doang. Kalau mau ceritain detil, kelamaan, capek.

# Seberapa susah PhD itu?
Kalau Anda berpikir Anda tahu seberapa beratnya PhD dan know what it takes to do it, trust me, you don't. Ini bukan tidak merekomendasikan PhD, PhD bisa menjadi pengalaman yang sangat rewarding. Kalau Anda "merasa" bisa meng-handle sisi "roller-coaster" dari kehidupan PhD, mungkin Anda bisa mencobanya.

# Apakah Anda tidak merasa sayang, Anda tidak menyelesaikan PhD Anda, kan tanggung banget?
Enggak, serius. Saya sudah melakukan apapun yang saya bisa. Namun saya sudah sampai satu titik di mana saya tahu saya harus stop. 

# Apakah Anda malu tidak selesai PhD?
Malu sih enggak. Tapi jadi sering mikirin pertanyaan yang sebenarnya kebanyakan gak ada gunanya. Sering kepikiran kenapa kok dulu langsung pergi ke sana ya? Kenapa dulu nggak dengerin Bu Mirna ya? Kenapa harus mengalami semua ini ya? Dan belakangan mulai berpikir ke depannya mau ngapain? Terus di UI? Tapi kan suatu saat harus S3 lagi kalo tetap di UI? Banting setir ke industri? Kayak merasa jalan ke depan nggak jelas sama sekali hehe. 

# Pengalaman sulit apa yang dialami dalam riset
Waktu stuck berbulan-bulan, sudah tidak tahu itu problem nyelesainnya bagaimana. Dan ya tentu saja merasa sendiri aja, karena kan yang mengerti benar tentang problemnya ya cuma sendiri saja. Emang harus fokus banget jadinya. Harus rajin baca paper tiap hari supaya dapat inspirasi dll. Mengharapkan bantuan orang lain ya agak susah. Memiliki kolaborator dalam project bisa cukup membantu. Kemarin saya kerja dengan anak Master yang lumayan handal. Tapi di sisi lain, untuk memanage kolaborator juga ada deritanya.











Thursday, April 21, 2016

Praveen/Debby - Indonesian Badminton XD Pair

I have been a badminton fan since I was a kid and throughout the years I've witnessed some brilliant players from Indonesia. Not that I want to claim as a badminton expert but I sort of believe that I can "judge" whether a player is going to be big or not. Typically, I need to see the way they play and usually players with special characteristics will succeed and have successful careers. For example, Ricky/Rexy with their unmatched attacking ability, Susi Susanti with her inch accurate defense and attacking lob combined with amazing court coverage, Taufik Hidayat with his unreal backhand smash etc.

Since 2014, I followed an XD pair Praveen Jordan/Debby Susanto. Both players have different characteristic and their combination is lethal. When I first watched his game in 2014 Asian Games, Praveen showed his amazing smashing abilities to kill the opponents. It is very dangerous for the opponent to give a high lob to the other side of the court as Praveen can kill it in 1 - 2 smash(es). However, Praveen tends to commit a lot of unforced errors to give the opponent easy points. While Praveen has the advantage in attacking ability, Debby is a typical smart player. She does not have unique or magic strokes but the way she plays reveal that she knows how to play and win the game. Another strength of Debby is her consistency. 

So, since 2 years ago I believe this pair has potential to be top players in the world. Although they didn't show striking progress but slowly but surely they played reasonably well by getting the medals in Asian Games 2014 and SEA Games 2015. They also got the chance to play against top XD players and manage to beat most of them. In the beginning of 2016 the pair finally proved to the world that they are an XD pair to watch for by winning the prestigious All England Premier Super Series. Definitely, it's not just because of luck, they worked on their to the finals by beating a lot of top ranked players even the world number 1, Zhang Nan/Zhao Yunlei.

However, after All England, they struggled in the last two tournaments namely Malaysia and Singapore Open. They unexpectedly got beated in the early round of the tournament.  

If I look into their games in the last tournaments, it seems they haven't reached their All England form again. Praveen commits too many unforced errors again and it seems the opponents already know the way they play. In general, the way Praveen/Debby play the best would be an attacking game. So basically, Debby will try to control the game by making the shuttlecock go down and force the opponent to lift so that Praveen can launch his killer smash. Another thing that Debby usually does is to place the shuttle to an area that confuses the opponent which destroys their formation, then Praveen will finish it. So if Debby can control the net area, it almost certain that it would be a bad day for the opponent. But watching their last games in which they lost, we can see that Debby usually was forced to play at the back this is obviously not the ideal formation as the pair cannot launch a dangerous attack and Praveen sucks at the net :D 

Obviously, going to the Olympic they need to think about this. The standard play by setting Praveen on smashing will not always work, everybody knows about this. They need to work on various playing styles that confuse the opponent. I guess the good thing about this pair right now is their mentality, they know what it takes to be a winner. It is just a matter for them to have a better playing strategy and for Praveen to fix his inconsistency. If they manage to work on those, they are serious contenders in Rio 2016.

Sunday, August 30, 2015

Selamat Jalan Fasilkom 2011

Beberapa hari lalu sudah diadakan wisuda untuk meresmikan kelulusan mahasiswa Universitas Indonesia. Ketika melihat foto-foto di jaringan sosial saya, banyak sekali wajah-wajah yang tidak asing bagi saya karena saya pernah mengajar kelas DDP pada semester pertama mereka. Sebagian besar dari mereka adalah Fasilkom angkatan 2011. Setiap mengajar DDP di tahun ajaran baru, selalu menarik untuk melihat karakteristik anak-anaknya secara umum. Kalau menurut saya, 2011 tidak jauh berbeda dengan 2010. Yang saya rasakan ya, anak-anaknya sopan dan bersahabat hahaha. Banyak dari mereka yang sering saya ajak chat di FB hanya untuk menanyakan kabar, karena setelah DDP ya tidak pernah bertatap muka lagi secara langsung di kelas.

Salah satu pengalaman yang berkesan waktu mengajar adalah ketika saya mengadakan quiz di akhir semester. Quiz-nya memang sengaja saya rancang tidak biasa (berkelompok) dan sebenarnya apapun yang terjadi nilainya pasti 100 (ya tentu saja saya tidak mengatakan hal ini hehe).  Tipe quiznya terinspirasi dari seorang Prof. dari CMU, saya lupa namanya hahaha. Jadi intinya, membuat program untuk decipher suatu pesan kemudian di pesan itu ada instruksi bermacam-macam misalnya pergi ke lokasi X, Y lalu harus mengambil foto bersama kelompoknya. Karena saya merasa membuat programnya tidak terlalu mudah untuk anak semester pertama, jadi sebenarnya ketika membuat kelompok sudah saya rencanakan minimal ada 1 atau 2 anak yang memang berbakat dalam memprogram :D Jadi nilai UTS , quiz sebelumnya dll saya gabung,  sort menurun trus udah deh top-K-nya tinggal didistribusikan ke kelompok-kelompok tersebut. Hal yang tidak biasa lainnya saya membeli lumayan banyak donat dari J.Co, jadi setelah quiz bisa dimakan bareng-bareng. Hal lain yang sebenarnya saya harapkan ketika mereka bekerja berkelompok supaya nambah teman, agar kenal satu sama lain.  Mengenai pelaksanaannya dan hasilnya, di luar dugaan saya sebenarnya. Ada beberapa kelompok yang selesai cepat sekali. Ada beberapa juga yang protes, harus jalan sampai gerbang UI untuk foto di sana :D Ya maaf, Anda belum beruntung hehehe. 

Saya sebenarnya tidak tahu perasaan atau tanggapan mereka bagaimana setelah melakukan quiz yang sebenarnya just for fun itu. Harapannya sih mereka senang :D 

Ok, selamat jalan Kawung 2011. Sukses selalu. ;)


Tuesday, July 28, 2015

Nowhere to Go

By the end of this summer, ideally I should have completed my Research Proficiency Exam. But the fact is, I just do not know what to do. I feel like I don't have time to think about research, instead I'm just "hacking" the existing tools. As the codebase of the existing tool is quite large and almost zero documentation, life is hard. In order to know the method call chain I used the debug mode and see where the program execution goes. I do not know if I break the tool, I do not know if I'm doing it correctly or not.  Another fundamental problem is about the annotated data. Every time I look at it, I feel bad. The data is annotated with a strange way, a lot of conversion to be done and many other things that make me feeling so bad. I wish I know how to fix it,  but I just don't. I'm feeling I don't have progress and just circling around the same stuff again, again, and again.

If I look at other PhD students here, most of them already have the data and they can just start playing with it, try out different algorithms etc. They focus on the solution and not to how to clean the data or transform the data into an appropriate format. I feel like we already made a mistake from the beginning of the annotation. Perhaps because nobody is really familiar with the topic from the beginning. 

Hmm, I do not know what to do.


Wednesday, March 18, 2015

Relationship is Hard


  • Because human is a complex creature
  • Because you need to compromise
  • Because you need to sacrifice
  • Because you can't be (fully) yourself
  • Because you need to feel other's feeling
  • Because you're always wrong

Wednesday, December 17, 2014

Ladang Pembantaian

Tidak terasa, sudah 1.5 tahun saya sudah di US untuk menempuh studi lanjut. Salah satu hal yang saya benci disini adalah qualifier courses (ada lima). Jadi itu semacam breadth requirements yang mana diharuskan dapat nilai A-. Sayangnya lagi, semua mata kuliah itu tidak ada hubungannya dengan bidang yang ingin saya tekuni.

Aturannya adalah, PhD student harus menyelesaikan semuanya dalam waktu tiga semester. Apabila tidak bisa diselesaikan dalam tiga semester maka terpaksa dikeluarkan dari program. Sampai saat ini sudah sekitar 10% yang out. Untuk mendapatkan A- bukanlah hal yang mudah. Apalagi kalau course-nya cuma berisi PhD student, itu kayak bunuh-bunuhan antar "teman", ya karena biasanya nilainya di-curve. Masing-masing jadi agak pelit sharing informasi karena temannya adalah kompetitornya. Bagi saya, bersaing dengan sesama PhD agak susah karena pasti mereka kemampuannya sama atau di atas saya dan semuanya akan melakukan apapun untuk dapet A-. Ya gimana, namanya jg PhD :P Kalau pas course-nya campur dengan anak Master sih masih rada gampang. Jadi ya kasarannya, qualifier courses semacam ladang pembantaian. It's really painful in the ass, you need to learn something that you hate, and need to beat your own friends.

Selain faktor kompetisi, yang membuat susah ya ujiannya :D Saya merasa model ujian disini agak berbeda dengan di Belanda. Kalau dibandingkan dengan ujian di tempat saya S1 dulu dulu, walah apalagi, kayaknya levelnya cuman quiz. Kalau di Belanda dulu, ujiannya ya susah juga, tapi lebih masuk akal untuk dikerjakan. Maksudnya waktu yang diberikan untuk ujian sangat cukup. Jadi kalau mahasiswanya ngerti, ya udah ga ada cerita dia ga cukup waktu utk ngerjain. Kalau disini saya merasa, kita harus ngerti dan ngerjainnya harus cepet banget. Dan saya ngerasa banget sih, kecepatan saya dalam mengerjakan soal udah berkurang jauh dibandingkan dulu. Jadi ujian qualifier ya cukup menantang bagi saya. Ditambah lagi waktu ujian, ada pressure saya harus dapet A-. 

Semoga suatu saat qualifier dimusnahkan.

Pertolongan & Ketulusan

Entah mengapa saya teringat pada pengalaman saya sekitar tahun 2006 (wah sudah 8 tahun lalu!). Pada saat itu saya resign dari project di LAPI Divusi karena saya ingin mencoba peruntungan bekerja di perusahaan yang besar (biasalah anak muda). Satu persatu saya coba. BCG, perusahaan konsultan manajemen ternama, hasil gagal. Schlumberger, oil services company, disaring dari 1000 orang sampe 50 orang terus gagal (agak sakit yang ini), P&G, ga tau sih kenapa ngelamar ini dulu =)) Lolos tes tertulis terus gagal pas interview. Accenture, interview 2-3 kali terus gagal. McKinsey, gagal juga. Cisco, gagal. IBM, interview dua kali, gagal. Conoco Phillips, gagal. 

Pada masa-masa itu saya ya cuma nongkrong-nongkrong di kos saja dan mengandalkan sisa uang tabungan hasil project tahun 2005. Uang dari orang tua juga sudah tidak ada, karena Bapak saya baru saja meninggal dan Ibu saya sudah tidak kerja. Waktu-waktu saya di kos itu, saya sering ketemu dengan temannya teman kos saya :D sebut saja Mas M. Orangnya cuek abis, nyantai dalam hidup dll. Beda umur sekitar 9 tahun dengan saya, Ya kalo saya bilang sih, Mas M orangnya rada ga jelas sih hidupnya, pengangguran juga saat itu. Ya banyak ngobrol dengan dia dan sempat juga cerita tentang saya lagi mencari kerja dll. 

Suatu saat, saya ditawarkan sama dia untuk dihubungkan sama temannya yng kerja di perusahaan X. Kebetulan temannya sedang mencari staff. Bukan staff tetap sih, tapi kontrak. Karena saya juga sudah butuh uang ya sudah saya terima saja. Akhirnya ya saya di-interview sama temannya Mas M dan bos-bosnya. Setelah itu ya diterima dan saya ambil saja. 

Entah mengapa, setelah beberapa tahun saya mikir lagi, saya baru sadar bahwa jasa Mas M ini besar banget untuk saya. Yah maklum, waktu itu saya jg masih muda banget, masih mikir diri sendiri hebat tanpa orang lain dll. Mas M melakukan hal "kecil" itu padahal dia nggak untung apa-apa. Saya jg bukan teman dekatnya. Parahnya lagi kayaknya saya belum pernah bilang terima kasih ke dia. Semoga suatu saat nanti saya bisa bertemu dengan dia dan berterima kasih kepadanya. 

Setelah saya itu, saya pun pindah ke Jakarta, mulai bekerja dan akhirnya bertemu seseorang yang luar biasa baiknya dan tulus. Mungkin orang paling baik dan tulus yang pernah saya temui selain Ibu dan adik saya. Sayangnya, saya lagi-lagi tidak menyadari hal ini di awal-awal namun paling tidak saya pernah berterima kasih kepada orang yang ini. 

Saturday, August 16, 2014

Terima kasih Turbo Fasilkom 2010

Kalimat berikut ini memang klise : Waktu terasa berjalan cepat sekali. Pertama kali saya mengajar di Fasilkom UI adalah pada tahun 2010. Saya masih ingat sekali gimana susahnya mencari kosan, gimana rasanya mengajar pertama kali, gimana hari pertama saya di Fasilkom. Pada semester tersebut saya berkesempatan untuk mengajar angkatan yang baru masuk, angkatan 2010. Waktu itu merasa agak aneh, oh ternyata di Fasilkom setiap angkatan diberi nama dan namanya biasanya ada arti tertentu.

Waktu pertama kali mengajar, diminta menggantikan Pak Rizal dan Pak Stef. Kebetulan waktu itu keduanya sedang ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan. Jadi kelasnya Pak Rizal + Pak Stef digabung. Jadinya saya mengajar di kelas yang cukup besar, sekitar 90 orang lebih kayaknya. Sebelum mengajar ya saya sudah persiapan dll. Tapi memang susah, kelasnya luar biasa rame dan agak susah dikontrol. Sebenarnya agak frustasi/bingung juga mau diapain. Mau dimarahin saya bukan tipe orang seperti itu. Mau gak marah juga kayaknya salah. Singkat cerita, setelah setengah semester selesai, saya menggantikan Pak Rizal secara penuh. Kalau tidak salah mengajar kelas C dan D, yang mana merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bagi saya. Terus terang saya sangat menikmati mengajar mereka walau cuma setengah semester. 

Ada beberapa hal yang membuat pengalaman tersebut berkesan. Saya bertemu anak-anak muda yang spesial secara akademik/intelektual. Dan juga ada yang agak "ajaib". Membuat program dalam paradigma OO bukan hal yang mudah. Namun saya menemukan ada satu anak, benar-benar berbeda. Ketika lihat kodenya, saya cuma bisa heran, ini anak belajar darimana haha :-)  Yah tidak perlu saya sebutkan lah ya, mestinya juga pada tahu. Selain itu, berkesan juga karena waktu itu di Depok tidak ada teman sama sekali jadi  saya selalu tidak sabar lagi untuk masuk ke kelas lagi untuk mengajar. Jadi rasanya pas ngajar itu kayak ada temennya, nggak merasa sendiri. Selain itu anak-anaknya rata-rata ramah-ramah, baik-baik, dan ada beberapa yang dekat malah, sering chat hehe. 

Sekarang sudah tahun 2014. Empat tahun sudah lewat. Banyak anak-anak Turbo yang akan lulus. Terus terang saya bangga melihat perkembangan mereka dan juga prestasi yang mereka raih. Ada yang berjaya di Gemastik, Competitive Programming, Mapres dll. Saya belajar banyak dari mereka. Kok gitu? Ya, mereka anak-anak yang "make things happen" tidak cuma omong doang. Apakah saya cuma inget sama mereka yang sering nampang di kejuaraan2 itu? Oh tentu tidak. Dan mungkin mereka nggak mengira saya memperhatikan mereka di kelas. Contoh : Aditya Try Anggoro, selalu terkantuk2 di kelas, tp nilainya bagus melulu, Anang Ferdi, rajinnya minta ampun, Dimas Agung yang cool, Marsha Hanifa, ngakunya gak bisa tp dapet bagus mulu juga, Karina, sorot matanya tajem abis bikin tertekan pas ngajar pertama kali, Wija, orangnya banyak senyum, Adrian, manusia penuh keingintahuan, Faiza, hmm kayaknya dia agak tersesat di Fasilkom (kidding), Minami, ributnya minta ampun, Nila Sukmawati, pemecah keseimbangan kelas, Swastu, selalu misterius, Ashar, ni anak suka tidur juga, Ricky, slengean haha, Afifa Amriani, tenang seperti air, Dwi Novanto, kartun abis, Surya Adhi, the boss, Vini Agra, sekilas kalau dilihat kayaknya galak, begitu dilihat tambah galak lagi, Nanda Firdaus, SI nyasar, Dyah Inastra, kayaknya periang, Niken Paramita, ramah, Koi, selalu terlihat tersiksa ketika kuliah, Ryan Riandi, duh ni anak suka bisik2 ke Nanda Firdaus/Adrian kalo ga salah, ga ngerti ngomong apaan,  Farah Nuraini, cool, Andros, antusias tapi celananya itu lho :( , Firlia Sandyta, agak malu2 gitu kayaknya, duduknya selalu paling depan bagian kanan. Nurfazlina, duduk di depan terus dan kayaknya niat, tapi tidak pernah liat lagi belakangan. Wira, selalu bersemangat, Aldyra, kecil-kecil semangatnya gede hahaha, Febriana Misdianti, medhok! Taufik Fadjar, hmm kayaknya galau2 gitu ya, Berty, cool guy! Egidius, kayaknya ni anak efisien banget dan bisa bagi waktu, Karel, berbakat tp semangat juang agak kurang :)), Denny, suka senyum2 ga jelas di dunianya? Gilang Pamenan, duduknya selalu sebelahan sama Andros, Andika Yudha, rajinnnn, Dyah Ayuningtyas, pekerja keras dan udah lulus duluan kalau ga salah :D  Vemmy Yusiana, low profile tp ni anak agak dahsyat juga, Imanuel Sukrisna, yang penting happyy, Lunetta,  ni anak kayak si Koi kayaknya tersiksa juga pas kuliah.. Dhika Ahmad Aulia, cuek abis khas Bandung. Rizal Bahriawan, baek banget kayaknya.

Gimana-gimana? Keren gak tuh saya? Maaf ya ga semuanya kesebut, habis capekk nulisnya. Ya intinya seneng banget bisa berinteraksi dengan kalian terutama anak DDP C/D. Secara umum Turbo asik banget! Bahkan yang gak saya ajar pun ramah-ramah ke saya. 

Harapan dan doa saya adalah semoga kalian bisa menemukan jalan yang baik di kehidupan Anda selanjutnya, agar dapat bahagia, agar dapat mencapai impian Anda. Pokoknya yang baik-baik deh. 

Oh ya, biasanya mahasiswa berterima kasih kepada dosen/gurunya. Tapi saya justru ingin berterima kasih kepada kalian semua karena Anda semua sudah memberikan keceriaan pada hidup saya di awal-awal saya mulai di Fasilkom, terima kasih juga karena dengan melihat kalian saya percaya Indonesia selalu punya harapan di masa depan. Turbo "menjadikan" saya sebagai dosen . (Kalau Anda adalah mahasiswa angk. 2010, saya adalah dosen angk. 2010.)


Sampai jumpa!