Saya tidak tahu mengapa saya menulis post ini, tapi kayaknya saya ingin berbagi pengalaman saja yang saya alami dalam 3 tahun terakhir. Tahun 2013, saya memutuskan untuk meninggalkan Fasilkom UI untuk studi lanjut di US. Selain saya sudah dapat beasiswa, saya juga sudah
diterima di beberapa universitas. Akhirnya saya memutuskan menerima tawaran dari SUNY Stony Brook. Saat itu saya hanya tahu ada satu Prof. di bidang Natural Language Processing (NLP) di universitas tersebut. Sejujurnya, pada saat itu saya merasa tidak sreg, ya ada perasaan tidak yakin dan kuatir saat akan pergi. Takutnya tidak cocok. Saya sangat merasakan itu waktu di bandara waktu mau berangkat, semacam tegang nggak jelas begitu.
Computer Science PhD program di Stony Brook memiliki beberapa fase, pertama kita harus lulus qualifier exams, research proficiency exams, proposal defense, dan akhirnya defense yang terakhir. Tidak sedikit yang gagal dari fase-fase tersebut maupun memutuskan berhenti untuk bekerja di industri, tidak mendapatkan advisor yang cocok dan lain lain.
Qualifier Exam
Untuk qualifier exams, kita harus mendapatkan nilai minimal A- untuk course bucket tertentu. Ini gampang-gampang susah bagi saya. Paling enak kalau kelasnya campur dengan anak master, persaingan jadi jauh lebih mudah. Paling sengsara kalau kelasnya khusus mahasiswa PhD, ini semacam ladang pembantaian karena masing-masing berkompetisi untuk lolos dan semuanya kompetitif.
Di semester pertama, banyak sekali kesulitan, mungkin salah satunya karena belum tune in dengan suasana perkuliah yang cukup intense. Di semester ini saya tidak lolos quals exams. Ya agak stress juga tetapi karena salah saya juga karena tidak terlalu all out.
Semester kedua dan ketiga saya jauh lebih serius, 5 quals sukses beruntun. Sampai sekarang juga masih bingung kok bisa langsung 5 beruntun begitu, saya pikir bakal lolos 3-4 saja maksimalnya hehe. Ya mungkin karena fokus banget dan banyak doa juga.
Research
Mungkin saya termasuk PhD student yang kurang beruntung, ketika saya datang ternyata Prof. yang menjadi target saya, malah pindah ke universitas lain. Sayangnya lagi saya belom jadi student-nya jadi tidak bisa ikut pindah. Belakangan saya melihat turn over Prof. di CS Stony Brook sangat tinggi, biasanya new hire cuma bertahan 4-5 tahun lalu mereka pindah ke univ yang lebih bergengsi. Sekitar dua tahun saya tidak ada advisor. Jadi di saat sebagian besar teman-teman saya sudah mulai riset, saya belum memulai sama sekali. Tapi ya untungnya 3 semester pertama masih ada coursework jadi saya masih ada kerjaan juga. Di akhir tahun kedua saya (2015), ada Prof. baru di bidang NLP, sebut saja namanya Prof. Bambang. Karena saya tidak ada pilihan lain, saya mencoba untuk bekerja dengan Prof. Bambang. Saat itu dia memiliki project grant, yang walaupun saya tidak terlalu suka projectnya, saya memutuskan untuk mencobanya. Saya pikir, yah mungkin saya cuma bekerja untuk 1 semester tentang project ini, kemudian saya bisa mengerjakan yang benar-benar saya sukai. Beberapa bulan pertama, sama-sama belum tahu arahnya ke mana, namanya juga riset. Setelah beberapa lama kira-kira arahnya dapet, intensitas meroket jauh. Tiap hari saya perlu menulis email apa yang ingin saya kerjakan, apa yang saya kerjakan kemarin dan lain-lain. Bahkan ada kalanya sekitar sebulan penuh, ada meeting setiap hari. Ada kalanya beliau ngambek kalau beberapa hari tidak ada email laporan. Prof. Bambang juga selalu menargetkan untuk submit ke conference yang top di bidang NLP seperti ACL, EMNLP, NAACL. Setelah lebih dari setahun melakukan hal itu dan berkutat di problem riset yang sama akhirnya saya burn out juga sekitar Mei 2016. Dan saya juga mulai merasa tidak cocok dengan advisor dan begitu juga sebaliknya. Banyak hal terjadi, untuk detilnya tidak bisa saya ceritakan, namun saya sudah sampai di satu titik di mana saya benar-benar kehilangan respek dan tidak bisa bekerja sama. Mengenai burn out atau stress, macam-macam penyebabnya. Riset TIDAK SAMA dengan kuliah. Kalau kuliah, Anda sangat diarahkan, "tinggal" baca buku, ikut ujian, habis deh. Yah singkatnya, riset jauh lebih susah dan tidak jelas karena harus memformulasikan problem yang ingin dipecahkan dan mencari cara yang "inovatif" untuk menyelesaikannya. Selain itu dalam prakteknya banyak sekali hal-hal yang mungkin bisa menguras mental juga. Mulai dari ide-ide yang ternyata gagal, ketika mendapat ide ternyata sudah ada orang yang mencoba, berkali-kali cuma memperbaiki anotasi data, bersihin data, dan beribu-ribu hal yang mungkin orang-orang menganggap itu "remeh". Namun setelah dijalani ya memang ada kalanya PhD seperti itu, kita yang ngerjain semuanya, coder iya, tester iya, researcher iya, project manager iya, writer iya. Hal ini juga yang membuat saya malas kalau ada orang yang lagi PhD dan complain tentang data misal maunya riset kalau datanya sudah bersih, gak mau anotasi dll. Jangan manja coy! :P Yah walau di awal saya pernah complain juga sih haha.
Exit
Tanggal 29 Juli 2016 merupakan hari yang bersejarah :D , karena hari tersebut saya melakukan Research Proficiency Exam (RPE) dan hari itu juga adalah pengumuman hasil submission paper ke EMNLP. Dalam perjalanan ke tanggal tersebut juga sangat berat, banyaaaak hal yang terjadi yang menguras mental. Secara psikologis saya dalam kondisi yang bisa dibilang terburuk. Namun syukur kepada Tuhan saya lolos RPE siang itu dan sorenya dapat kabar dari Prof. Bambang, paper ke EMNLP diterima. Hmm, ini agak mixed feeling. Ada rasa bangga karena kerjaan setahun lebih ada hasilnya dan nggak tanggung2 masuk ke EMNLP namun di satu sisi saya tidak merasakan apa-apa juga karena secara psikologis saya lagi down banget dan sudah capek mental banget. Agustus saya pulang ke Indonesia dan berpikir secara serius apakah langsung pulang ke Fasilkom atau mencoba 1 semester lagi sambil mencari Prof. lain. Akhirnya saya kembali ke US, dan mencoba untuk melakukan independent study dengan Prof. lain. Menariknya Prof. yang baru ini orang Indonesia, namun belum datang ke Stony Brook. Kerennya lagi dia bekerja di Google Deep Mind (London, UK). Jadi saya cuma remote independent study sekitar 2 bulanan bersama dia. Pada bulan November, melihat ketidakpastian yang tinggi mengenai advisor dan juga funding dan setelah berpikir berkali-kali tentang segala macam alternatif saya memutuskan untuk withdraw dari Stony Brook. Kembalilah saya ke Fasilkom UI.
Berikut ini hal-hal random yang saya pelajari atau pertanyaan yang sering ditanyakan:
# Apakah tempat melakukan studi itu penting?
Menurut saya iya. Kemarin waktu di Stony Brook itu lokasinya kayak ndeso banget, kemana-mana jauh. Pemandangan bikin frustasi dll. Ya kadang kan kita butuh ya refreshing jalan-jalan di sekitar, tapi kalo di situ gak ada apa-apa, seriusan.
# Komunikasi
Komunikasi dalam melakukan riset itu sangat penting. Bagaimana caranya Anda dapat menjelaskan dengan baik tentang ide Anda, bagaimana menjelaskan konsep yang rumit agar mudah dimengerti. Nggak ada gunanya kalau Anda "pinter" sendiri.
# Apakah Anda merindukan Stony Brook?
Sama sekali tidak. Saya juga bingung bisa bertahan di sana selama itu.
# Apakah Anda tidak suka dengan Prof. Bambang?
Dulu pernah merasa begitu, tapi sekarang mungkin cenderung mikir, ya memang tidak cocok saja. Dan terus terang saya BELAJAR BANYAK dari dia. Namun kalau sebelumnya saya sudah tahu orangnya dll, peluangnya kecil saya mencoba bekerja sama dengan dia begitu juga sebaliknya. Tapi beliau Prof. baru dan tidak punya murid sama sekali sebelumnya jadi tidak mungkin saya bertanya pengalaman murid sebelumnya.
# Apakah akan S3 lagi?
Saya belum tahu. Saya benar-benar capek mental dan belum siap berkomitmen lagi untuk S3. Tapi jujur saja masih sangat excited kalau melihat paper-paper yang seru (baca : topiknya saya suka). Sudah ada acceptance juga dari salah satu univ di UK (saya apply December lalu) tapi beasiswanya masih belum jelas.
# Bagaimana tanggapan orang tua Anda ketika Anda memutuskan untuk berhenti?
Ya tentu saja kecewa. Tapi saya tidak terlalu ambil pusing, susah menjelaskannya. S3 itu kompleks dan tidak seperti S1/S2.
# Apakah advisor atau topik yang lebih penting dalam PhD
Advisor. Hubungan antar manusia jauh lebih rumit daripada berusaha menyukai topik tertentu.
# Bagaimana perasaan Anda ketika ada yang menanyakan "kok pulang Fasilkom? Sudah lulus S3-nya? "
Capek sih sebenarnya. Kalau jawab seadanya, ntar mereka mikirnya, ah gitu doang. Kalau mau ceritain detil, kelamaan, capek.
# Seberapa susah PhD itu?
Kalau Anda berpikir Anda tahu seberapa beratnya PhD dan know what it takes to do it, trust me, you don't. Ini bukan tidak merekomendasikan PhD, PhD bisa menjadi pengalaman yang sangat rewarding. Kalau Anda "merasa" bisa meng-handle sisi "roller-coaster" dari kehidupan PhD, mungkin Anda bisa mencobanya.
# Apakah Anda tidak merasa sayang, Anda tidak menyelesaikan PhD Anda, kan tanggung banget?
Enggak, serius. Saya sudah melakukan apapun yang saya bisa. Namun saya sudah sampai satu titik di mana saya tahu saya harus stop.
# Apakah Anda malu tidak selesai PhD?
Malu sih enggak. Tapi jadi sering mikirin pertanyaan yang sebenarnya kebanyakan gak ada gunanya. Sering kepikiran kenapa kok dulu langsung pergi ke sana ya? Kenapa dulu nggak dengerin Bu Mirna ya? Kenapa harus mengalami semua ini ya? Dan belakangan mulai berpikir ke depannya mau ngapain? Terus di UI? Tapi kan suatu saat harus S3 lagi kalo tetap di UI? Banting setir ke industri? Kayak merasa jalan ke depan nggak jelas sama sekali hehe.
# Pengalaman sulit apa yang dialami dalam riset
Waktu stuck berbulan-bulan, sudah tidak tahu itu problem nyelesainnya bagaimana. Dan ya tentu saja merasa sendiri aja, karena kan yang mengerti benar tentang problemnya ya cuma sendiri saja. Emang harus fokus banget jadinya. Harus rajin baca paper tiap hari supaya dapat inspirasi dll. Mengharapkan bantuan orang lain ya agak susah. Memiliki kolaborator dalam project bisa cukup membantu. Kemarin saya kerja dengan anak Master yang lumayan handal. Tapi di sisi lain, untuk memanage kolaborator juga ada deritanya.