Thursday, December 31, 2020

Kilas balik: Papa

Bulan Desember bisa dibilang adalah bulan yang menyenangkan sekaligus menyedihkan bagi saya. Bulan yang menyenangkan karena ada libur Natal dan Tahun Baru namun juga menyedihkan karena ada beberapa kenangan yang tidak mengenakkan, salah satunya adalah kepergian Papa saya untuk selama-lamanya sekitar 16 tahun yang lalu. Seiring dengan berjalannya waktu perasaan sedih saya "hilang" namun di sisi lain saya tidak ingin melupakan beliau.  Di postingan ini saya merefleksikan pengalaman-pengalaman bersama beliau untuk mengingat kembali tentang dia,  terutama pengalaman yng bisa jadi membentuk kebiasaaan atau bahkan jalan hidup saya sampai saat ini:

  • Saya suka makan KFC karena Papa saya. Selain memang KFC itu enak bagi saya, beliau yang pertama kali memperkenalkan KFC ke saya. Waktu itu KFC di Salatiga belum ada restorannya, tapi mereka datang dengan bentuk food truck.
  • Saya suka membeli buku karena Papa saya. Berhubung Papa saya berprofesi sebagai dosen, dia sering sekali membeli buku. Walau mungkin tidak semuanya dibaca, dia selalu bilang bahwa buku itu investasi. Sering tiap weekend kami sekeluarga ke Semarang dan pasti kita mampir ke Gramedia untuk lihat-lihat buku. Kebiasaan ini terbawa sampai kuliah di Bandung, namun sayangnya kalau saya beli buku (biasanya di Palasari) terus kebanyakan dibuang. 
  • Saya suka menonton sepakbola (terutama tahun 1995 - 2008) karena Papa saya. Papa saya merupakan penggemar AC Milan dan tim nasional Belanda. Pertama kali diajak nonton AC Milan itu pertandingan Piala Toyota tahun 1992, AC Milan vs Sao Paulo. Sayang AC Milan kalah waktu itu. Sering juga nonton di dinihari terutama pertandingan timnas Belanda. Biasanya beliau yang membangunkan saya. 
  • Kriteria memilih pacar, dipengaruhi oleh Papa saya. Katanya sih, kalo bisa cari pacar/istri yang cantik dan intelek.  Ahahahaha!
  • Saya mengubur cita-cita menjadi pemain bola profesional karena Papa saya. Waktu semasa SD dan SMP saya suka sekali main bola di lapangan dekat rumah bersama teman satu kompleks tiap sore. Saking senengnya, jadi bermimpi untuk mendaftar ke klub. Ketika saya bilang ke beliau, kira-kira responnya itu begini "Emang kamu yakin? Jadi pemain bola itu mainnya harus pakai otak, tidak cuma maen saja." Sehabis itu saya melupakan cita-cita tersebut. 
  • Saya mengubur cita-cita mendaftar ke SMU Taruna Nusantara (TN) karena Papa saya. Waktu lulus SMP, saya ingin mencoba mendaftar ke TN karena kelihatannya keren gitu. Ketika saya bilang ke beliau, kira-kira responnya itu begini, "Emang kamu kuat dipanggang di lapangan siang-siang, baris-berbaris dll?" Sehabis itu saya melupakan cita-cita tersebut.
  • Saya suka melucu karena Papa saya. Walau kelihatan serius, beliau orangnya lucu dan cenderung jahil ke anaknya. Ada satu yang saya ingat jelas, waktu itu Mama saya komplain ke beliau, "Ste, ini baju-baju taruh di kamar mandi!". Mama saya orangnya rapi banget, jadi dia sering teriakin kalo ada yang gak rapi.  Ya dengan pasrah ya beliau ambil baju-baju dia, kemudian ditaruh di kamar mandi. Namun setelah itu saya lihat, dia malah masuk ke kamar saya. Saya bingung.. Ga disangka-sangka, dia malah teriak dari dalam kamar saya, "Maaaaa, ini Sammy juga banyak baju kotor di kamarnya." Ampun dah saya kaget campur takut. Ya banyak cerita lain, seperti malam-malam dia ketuk2 jendela kamar saya untuk nakut2in dll. 
  • Saya tertarik dengan matematika karena Papa saya. Entah kenapa waktu itu ketika diajarin di rumah sama beliau jadi lebih asyik saja.

Kembali mengenai perasaan sedih yang tampaknya sudah "hilang", ada peristiwa yang cukup menarik bagi saya. Satu saat pernah menonton video Youtube dari Jerome Polin ketika dia pulang ke Indonesia tanpa bilang-bilang keluarganya (kejutan). Saat dia bertemu keluarganya dan berpelukan dengan ayahnya, adegan tersebut tanpa saya duga membuat saya menitikkan air mata :D .  Saya pikir saya sudah benar-benar "melupakan" atau istilahnya move on lah ttg kenangan Papa saya, namun adegan simple seperti itu benar-benar membangkitkan memori lama. Tampaknya memori tentang orang tua itu sangat dalam dan mau gimana juga tidak akan pernah terlupakan. Kalau kata adik saya, kadang hidup itu seperti denial begitu, berusaha melupakan sesuatu (e.g. kesedihan) tapi sebenarnya tidak bisa.  Ibarat luka, lukanya masih menganga.