Wednesday, December 17, 2014

Ladang Pembantaian

Tidak terasa, sudah 1.5 tahun saya sudah di US untuk menempuh studi lanjut. Salah satu hal yang saya benci disini adalah qualifier courses (ada lima). Jadi itu semacam breadth requirements yang mana diharuskan dapat nilai A-. Sayangnya lagi, semua mata kuliah itu tidak ada hubungannya dengan bidang yang ingin saya tekuni.

Aturannya adalah, PhD student harus menyelesaikan semuanya dalam waktu tiga semester. Apabila tidak bisa diselesaikan dalam tiga semester maka terpaksa dikeluarkan dari program. Sampai saat ini sudah sekitar 10% yang out. Untuk mendapatkan A- bukanlah hal yang mudah. Apalagi kalau course-nya cuma berisi PhD student, itu kayak bunuh-bunuhan antar "teman", ya karena biasanya nilainya di-curve. Masing-masing jadi agak pelit sharing informasi karena temannya adalah kompetitornya. Bagi saya, bersaing dengan sesama PhD agak susah karena pasti mereka kemampuannya sama atau di atas saya dan semuanya akan melakukan apapun untuk dapet A-. Ya gimana, namanya jg PhD :P Kalau pas course-nya campur dengan anak Master sih masih rada gampang. Jadi ya kasarannya, qualifier courses semacam ladang pembantaian. It's really painful in the ass, you need to learn something that you hate, and need to beat your own friends.

Selain faktor kompetisi, yang membuat susah ya ujiannya :D Saya merasa model ujian disini agak berbeda dengan di Belanda. Kalau dibandingkan dengan ujian di tempat saya S1 dulu dulu, walah apalagi, kayaknya levelnya cuman quiz. Kalau di Belanda dulu, ujiannya ya susah juga, tapi lebih masuk akal untuk dikerjakan. Maksudnya waktu yang diberikan untuk ujian sangat cukup. Jadi kalau mahasiswanya ngerti, ya udah ga ada cerita dia ga cukup waktu utk ngerjain. Kalau disini saya merasa, kita harus ngerti dan ngerjainnya harus cepet banget. Dan saya ngerasa banget sih, kecepatan saya dalam mengerjakan soal udah berkurang jauh dibandingkan dulu. Jadi ujian qualifier ya cukup menantang bagi saya. Ditambah lagi waktu ujian, ada pressure saya harus dapet A-. 

Semoga suatu saat qualifier dimusnahkan.

Pertolongan & Ketulusan

Entah mengapa saya teringat pada pengalaman saya sekitar tahun 2006 (wah sudah 8 tahun lalu!). Pada saat itu saya resign dari project di LAPI Divusi karena saya ingin mencoba peruntungan bekerja di perusahaan yang besar (biasalah anak muda). Satu persatu saya coba. BCG, perusahaan konsultan manajemen ternama, hasil gagal. Schlumberger, oil services company, disaring dari 1000 orang sampe 50 orang terus gagal (agak sakit yang ini), P&G, ga tau sih kenapa ngelamar ini dulu =)) Lolos tes tertulis terus gagal pas interview. Accenture, interview 2-3 kali terus gagal. McKinsey, gagal juga. Cisco, gagal. IBM, interview dua kali, gagal. Conoco Phillips, gagal. 

Pada masa-masa itu saya ya cuma nongkrong-nongkrong di kos saja dan mengandalkan sisa uang tabungan hasil project tahun 2005. Uang dari orang tua juga sudah tidak ada, karena Bapak saya baru saja meninggal dan Ibu saya sudah tidak kerja. Waktu-waktu saya di kos itu, saya sering ketemu dengan temannya teman kos saya :D sebut saja Mas M. Orangnya cuek abis, nyantai dalam hidup dll. Beda umur sekitar 9 tahun dengan saya, Ya kalo saya bilang sih, Mas M orangnya rada ga jelas sih hidupnya, pengangguran juga saat itu. Ya banyak ngobrol dengan dia dan sempat juga cerita tentang saya lagi mencari kerja dll. 

Suatu saat, saya ditawarkan sama dia untuk dihubungkan sama temannya yng kerja di perusahaan X. Kebetulan temannya sedang mencari staff. Bukan staff tetap sih, tapi kontrak. Karena saya juga sudah butuh uang ya sudah saya terima saja. Akhirnya ya saya di-interview sama temannya Mas M dan bos-bosnya. Setelah itu ya diterima dan saya ambil saja. 

Entah mengapa, setelah beberapa tahun saya mikir lagi, saya baru sadar bahwa jasa Mas M ini besar banget untuk saya. Yah maklum, waktu itu saya jg masih muda banget, masih mikir diri sendiri hebat tanpa orang lain dll. Mas M melakukan hal "kecil" itu padahal dia nggak untung apa-apa. Saya jg bukan teman dekatnya. Parahnya lagi kayaknya saya belum pernah bilang terima kasih ke dia. Semoga suatu saat nanti saya bisa bertemu dengan dia dan berterima kasih kepadanya. 

Setelah saya itu, saya pun pindah ke Jakarta, mulai bekerja dan akhirnya bertemu seseorang yang luar biasa baiknya dan tulus. Mungkin orang paling baik dan tulus yang pernah saya temui selain Ibu dan adik saya. Sayangnya, saya lagi-lagi tidak menyadari hal ini di awal-awal namun paling tidak saya pernah berterima kasih kepada orang yang ini.