Tuesday, July 28, 2015

Nowhere to Go

By the end of this summer, ideally I should have completed my Research Proficiency Exam. But the fact is, I just do not know what to do. I feel like I don't have time to think about research, instead I'm just "hacking" the existing tools. As the codebase of the existing tool is quite large and almost zero documentation, life is hard. In order to know the method call chain I used the debug mode and see where the program execution goes. I do not know if I break the tool, I do not know if I'm doing it correctly or not.  Another fundamental problem is about the annotated data. Every time I look at it, I feel bad. The data is annotated with a strange way, a lot of conversion to be done and many other things that make me feeling so bad. I wish I know how to fix it,  but I just don't. I'm feeling I don't have progress and just circling around the same stuff again, again, and again.

If I look at other PhD students here, most of them already have the data and they can just start playing with it, try out different algorithms etc. They focus on the solution and not to how to clean the data or transform the data into an appropriate format. I feel like we already made a mistake from the beginning of the annotation. Perhaps because nobody is really familiar with the topic from the beginning. 

Hmm, I do not know what to do.


Wednesday, March 18, 2015

Relationship is Hard


  • Because human is a complex creature
  • Because you need to compromise
  • Because you need to sacrifice
  • Because you can't be (fully) yourself
  • Because you need to feel other's feeling
  • Because you're always wrong

Wednesday, December 17, 2014

Ladang Pembantaian

Tidak terasa, sudah 1.5 tahun saya sudah di US untuk menempuh studi lanjut. Salah satu hal yang saya benci disini adalah qualifier courses (ada lima). Jadi itu semacam breadth requirements yang mana diharuskan dapat nilai A-. Sayangnya lagi, semua mata kuliah itu tidak ada hubungannya dengan bidang yang ingin saya tekuni.

Aturannya adalah, PhD student harus menyelesaikan semuanya dalam waktu tiga semester. Apabila tidak bisa diselesaikan dalam tiga semester maka terpaksa dikeluarkan dari program. Sampai saat ini sudah sekitar 10% yang out. Untuk mendapatkan A- bukanlah hal yang mudah. Apalagi kalau course-nya cuma berisi PhD student, itu kayak bunuh-bunuhan antar "teman", ya karena biasanya nilainya di-curve. Masing-masing jadi agak pelit sharing informasi karena temannya adalah kompetitornya. Bagi saya, bersaing dengan sesama PhD agak susah karena pasti mereka kemampuannya sama atau di atas saya dan semuanya akan melakukan apapun untuk dapet A-. Ya gimana, namanya jg PhD :P Kalau pas course-nya campur dengan anak Master sih masih rada gampang. Jadi ya kasarannya, qualifier courses semacam ladang pembantaian. It's really painful in the ass, you need to learn something that you hate, and need to beat your own friends.

Selain faktor kompetisi, yang membuat susah ya ujiannya :D Saya merasa model ujian disini agak berbeda dengan di Belanda. Kalau dibandingkan dengan ujian di tempat saya S1 dulu dulu, walah apalagi, kayaknya levelnya cuman quiz. Kalau di Belanda dulu, ujiannya ya susah juga, tapi lebih masuk akal untuk dikerjakan. Maksudnya waktu yang diberikan untuk ujian sangat cukup. Jadi kalau mahasiswanya ngerti, ya udah ga ada cerita dia ga cukup waktu utk ngerjain. Kalau disini saya merasa, kita harus ngerti dan ngerjainnya harus cepet banget. Dan saya ngerasa banget sih, kecepatan saya dalam mengerjakan soal udah berkurang jauh dibandingkan dulu. Jadi ujian qualifier ya cukup menantang bagi saya. Ditambah lagi waktu ujian, ada pressure saya harus dapet A-. 

Semoga suatu saat qualifier dimusnahkan.

Pertolongan & Ketulusan

Entah mengapa saya teringat pada pengalaman saya sekitar tahun 2006 (wah sudah 8 tahun lalu!). Pada saat itu saya resign dari project di LAPI Divusi karena saya ingin mencoba peruntungan bekerja di perusahaan yang besar (biasalah anak muda). Satu persatu saya coba. BCG, perusahaan konsultan manajemen ternama, hasil gagal. Schlumberger, oil services company, disaring dari 1000 orang sampe 50 orang terus gagal (agak sakit yang ini), P&G, ga tau sih kenapa ngelamar ini dulu =)) Lolos tes tertulis terus gagal pas interview. Accenture, interview 2-3 kali terus gagal. McKinsey, gagal juga. Cisco, gagal. IBM, interview dua kali, gagal. Conoco Phillips, gagal. 

Pada masa-masa itu saya ya cuma nongkrong-nongkrong di kos saja dan mengandalkan sisa uang tabungan hasil project tahun 2005. Uang dari orang tua juga sudah tidak ada, karena Bapak saya baru saja meninggal dan Ibu saya sudah tidak kerja. Waktu-waktu saya di kos itu, saya sering ketemu dengan temannya teman kos saya :D sebut saja Mas M. Orangnya cuek abis, nyantai dalam hidup dll. Beda umur sekitar 9 tahun dengan saya, Ya kalo saya bilang sih, Mas M orangnya rada ga jelas sih hidupnya, pengangguran juga saat itu. Ya banyak ngobrol dengan dia dan sempat juga cerita tentang saya lagi mencari kerja dll. 

Suatu saat, saya ditawarkan sama dia untuk dihubungkan sama temannya yng kerja di perusahaan X. Kebetulan temannya sedang mencari staff. Bukan staff tetap sih, tapi kontrak. Karena saya juga sudah butuh uang ya sudah saya terima saja. Akhirnya ya saya di-interview sama temannya Mas M dan bos-bosnya. Setelah itu ya diterima dan saya ambil saja. 

Entah mengapa, setelah beberapa tahun saya mikir lagi, saya baru sadar bahwa jasa Mas M ini besar banget untuk saya. Yah maklum, waktu itu saya jg masih muda banget, masih mikir diri sendiri hebat tanpa orang lain dll. Mas M melakukan hal "kecil" itu padahal dia nggak untung apa-apa. Saya jg bukan teman dekatnya. Parahnya lagi kayaknya saya belum pernah bilang terima kasih ke dia. Semoga suatu saat nanti saya bisa bertemu dengan dia dan berterima kasih kepadanya. 

Setelah saya itu, saya pun pindah ke Jakarta, mulai bekerja dan akhirnya bertemu seseorang yang luar biasa baiknya dan tulus. Mungkin orang paling baik dan tulus yang pernah saya temui selain Ibu dan adik saya. Sayangnya, saya lagi-lagi tidak menyadari hal ini di awal-awal namun paling tidak saya pernah berterima kasih kepada orang yang ini. 

Saturday, August 16, 2014

Terima kasih Turbo Fasilkom 2010

Kalimat berikut ini memang klise : Waktu terasa berjalan cepat sekali. Pertama kali saya mengajar di Fasilkom UI adalah pada tahun 2010. Saya masih ingat sekali gimana susahnya mencari kosan, gimana rasanya mengajar pertama kali, gimana hari pertama saya di Fasilkom. Pada semester tersebut saya berkesempatan untuk mengajar angkatan yang baru masuk, angkatan 2010. Waktu itu merasa agak aneh, oh ternyata di Fasilkom setiap angkatan diberi nama dan namanya biasanya ada arti tertentu.

Waktu pertama kali mengajar, diminta menggantikan Pak Rizal dan Pak Stef. Kebetulan waktu itu keduanya sedang ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan. Jadi kelasnya Pak Rizal + Pak Stef digabung. Jadinya saya mengajar di kelas yang cukup besar, sekitar 90 orang lebih kayaknya. Sebelum mengajar ya saya sudah persiapan dll. Tapi memang susah, kelasnya luar biasa rame dan agak susah dikontrol. Sebenarnya agak frustasi/bingung juga mau diapain. Mau dimarahin saya bukan tipe orang seperti itu. Mau gak marah juga kayaknya salah. Singkat cerita, setelah setengah semester selesai, saya menggantikan Pak Rizal secara penuh. Kalau tidak salah mengajar kelas C dan D, yang mana merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bagi saya. Terus terang saya sangat menikmati mengajar mereka walau cuma setengah semester. 

Ada beberapa hal yang membuat pengalaman tersebut berkesan. Saya bertemu anak-anak muda yang spesial secara akademik/intelektual. Dan juga ada yang agak "ajaib". Membuat program dalam paradigma OO bukan hal yang mudah. Namun saya menemukan ada satu anak, benar-benar berbeda. Ketika lihat kodenya, saya cuma bisa heran, ini anak belajar darimana haha :-)  Yah tidak perlu saya sebutkan lah ya, mestinya juga pada tahu. Selain itu, berkesan juga karena waktu itu di Depok tidak ada teman sama sekali jadi  saya selalu tidak sabar lagi untuk masuk ke kelas lagi untuk mengajar. Jadi rasanya pas ngajar itu kayak ada temennya, nggak merasa sendiri. Selain itu anak-anaknya rata-rata ramah-ramah, baik-baik, dan ada beberapa yang dekat malah, sering chat hehe. 

Sekarang sudah tahun 2014. Empat tahun sudah lewat. Banyak anak-anak Turbo yang akan lulus. Terus terang saya bangga melihat perkembangan mereka dan juga prestasi yang mereka raih. Ada yang berjaya di Gemastik, Competitive Programming, Mapres dll. Saya belajar banyak dari mereka. Kok gitu? Ya, mereka anak-anak yang "make things happen" tidak cuma omong doang. Apakah saya cuma inget sama mereka yang sering nampang di kejuaraan2 itu? Oh tentu tidak. Dan mungkin mereka nggak mengira saya memperhatikan mereka di kelas. Contoh : Aditya Try Anggoro, selalu terkantuk2 di kelas, tp nilainya bagus melulu, Anang Ferdi, rajinnya minta ampun, Dimas Agung yang cool, Marsha Hanifa, ngakunya gak bisa tp dapet bagus mulu juga, Karina, sorot matanya tajem abis bikin tertekan pas ngajar pertama kali, Wija, orangnya banyak senyum, Adrian, manusia penuh keingintahuan, Faiza, hmm kayaknya dia agak tersesat di Fasilkom (kidding), Minami, ributnya minta ampun, Nila Sukmawati, pemecah keseimbangan kelas, Swastu, selalu misterius, Ashar, ni anak suka tidur juga, Ricky, slengean haha, Afifa Amriani, tenang seperti air, Dwi Novanto, kartun abis, Surya Adhi, the boss, Vini Agra, sekilas kalau dilihat kayaknya galak, begitu dilihat tambah galak lagi, Nanda Firdaus, SI nyasar, Dyah Inastra, kayaknya periang, Niken Paramita, ramah, Koi, selalu terlihat tersiksa ketika kuliah, Ryan Riandi, duh ni anak suka bisik2 ke Nanda Firdaus/Adrian kalo ga salah, ga ngerti ngomong apaan,  Farah Nuraini, cool, Andros, antusias tapi celananya itu lho :( , Firlia Sandyta, agak malu2 gitu kayaknya, duduknya selalu paling depan bagian kanan. Nurfazlina, duduk di depan terus dan kayaknya niat, tapi tidak pernah liat lagi belakangan. Wira, selalu bersemangat, Aldyra, kecil-kecil semangatnya gede hahaha, Febriana Misdianti, medhok! Taufik Fadjar, hmm kayaknya galau2 gitu ya, Berty, cool guy! Egidius, kayaknya ni anak efisien banget dan bisa bagi waktu, Karel, berbakat tp semangat juang agak kurang :)), Denny, suka senyum2 ga jelas di dunianya? Gilang Pamenan, duduknya selalu sebelahan sama Andros, Andika Yudha, rajinnnn, Dyah Ayuningtyas, pekerja keras dan udah lulus duluan kalau ga salah :D  Vemmy Yusiana, low profile tp ni anak agak dahsyat juga, Imanuel Sukrisna, yang penting happyy, Lunetta,  ni anak kayak si Koi kayaknya tersiksa juga pas kuliah.. Dhika Ahmad Aulia, cuek abis khas Bandung. Rizal Bahriawan, baek banget kayaknya.

Gimana-gimana? Keren gak tuh saya? Maaf ya ga semuanya kesebut, habis capekk nulisnya. Ya intinya seneng banget bisa berinteraksi dengan kalian terutama anak DDP C/D. Secara umum Turbo asik banget! Bahkan yang gak saya ajar pun ramah-ramah ke saya. 

Harapan dan doa saya adalah semoga kalian bisa menemukan jalan yang baik di kehidupan Anda selanjutnya, agar dapat bahagia, agar dapat mencapai impian Anda. Pokoknya yang baik-baik deh. 

Oh ya, biasanya mahasiswa berterima kasih kepada dosen/gurunya. Tapi saya justru ingin berterima kasih kepada kalian semua karena Anda semua sudah memberikan keceriaan pada hidup saya di awal-awal saya mulai di Fasilkom, terima kasih juga karena dengan melihat kalian saya percaya Indonesia selalu punya harapan di masa depan. Turbo "menjadikan" saya sebagai dosen . (Kalau Anda adalah mahasiswa angk. 2010, saya adalah dosen angk. 2010.)


Sampai jumpa!


Sunday, June 15, 2014

Revenge

One of the best example of revenge is perhaps the last World Cup match between the Netherlands (NL) against Spain (SPA). NL, one of the best teams in the world who never won World Cup started slow and even got behind after Alonso's penalty. I watched around 10 minutes after the goal, and it seemed that the situation was the same like the previous World Cup Finals, 4 years ago. So I considered, OK, what the hell, shutting down the live streaming, thinking that NL would lose anyway.

Apparently, the result was the opposite, NL came back from behind from Van Persie's amazing goal and after that Robben & Van Persie were torturing SPA's poor defense. Robben, the amazing dribbler, got his total redemption after beating Casillas, twice in style. I wonder what he felt when he scored the goals, as he failed to convert the golden chance 4 years ago into a goal (also against Casillas). Another interesting thing is, NL's defense was filled with young players. One of them is Daley Blind, this guy was amazing in the match by providing two assists to Robben and Van Persie. Looking at his last name, perhaps you're wondering whether he has family relationship with Danny Blind, former Ajax captain and currently the assistant coach of NL team. Indeed, he's the son of Danny Blind. Daley, just named as the best footballer in NL, proved that he has the potential to become a star. Who knows, Van Gaal will bring him to Manchester United next season.

Ok, 5-1 against Spain was an unbelievable result. No one in the world would expect that SPA would be pounded by NL like that. But I think NL need to regroup again, prevent the team to sucked in a useless euphoria. It's 5-1 but it's only worth 3 points, they still in the group stage and there are two matches ahead of them. I think the senior players like Robben, Van Persie, Sneijder still remember when they play excellent football in the group stage usually they will end up not more than the quarter finals of the tournament. So, NL needs to keep the focus.

Bad News and "Good" News

Let's start with the bad news first. My potential PhD advisor, Yejin Choi is leaving from SBU to UW. In the beginning of the Spring semester, I was planning to work in summer with her.  But when I tried to contact her again at the end of the semester, her reply really shocked me. She is moving out. I was freezed for several seconds, can't believe what I've just read and start thinking is there any good reason to stay here. I mean, one of the main reasons I came to SBU was  Yejin Choi. And unfortunately, she is the only NLP faculty in CS department. So currently, there is no Prof. in NLP area at all. 

Ok, move on to the "good" news. Last semester, I passed all three qualifier courses. That was quite surprising as I didn't expect that at all. I really hate some quals as I need to study something I don't like and I have to secure A grades for those. And don't get me wrong, to get an A is not easy at all. Honestly, sometimes it's painful. Jesus Christ, why do we need to do this kind of thing for PhD in the US hahaha. However, I was relatively patient last semester, I studied really hard for the exams and somehow I aced  the exams.  So, am I proud that I've cleared three quals? The answer is NO. I've spent one year here and still no research work, and yes I have to clear another two quals next semester. One year is somehow wasted.


Monday, February 25, 2013

Admission Results

Up until this point, I got rejected by UMass Amherst and Emory University. For Carnegie Mellon University (CMU), I was offered for Master's.  Considering that CMU is one of the top schools in CS along with  other well known universities e.g. Stanford, MIT,  I really want to go there. However, for Master's there is no certainty in funding. Financially, it's almost impossible to afford $18.000 dollar a year just for tuition fee. I have to  sell my house in Salatiga to obtain such a lot of money! (which is crazy). 

In terms of academic path, honestly I don't mind to do Master's, as the credits obtained in Master's can be transferred to PhD. In fact, according to one of the PhD student , many of Master students in CMU continue to PhD program. Indeed, the PhD program is extremely competitive. In terms of academic excellence, I would say the admission committee would prefer a CMU student or other students from well known university with the GPA of 3.6 rather than, say, a graduate from a university in Indonesia with the GPA of 3.9. So, what can I do  is to compete from research experience e.g. publish a paper in a difficult conference, then I think my chance to be accepted will be increased. However, this is difficult to achieve, research is just a rigorous activity and you really need to focus.
The bottomline is, I think I have to close my dream to go to CMU  T_T

From the Fulbright program, I got accepted for PhD in University of Delaware. I never heard about this university and I do not know whether the research group in IR/NLP is active. In addition to that, the Scholarship from Fulbright only covers about $40000. Yes, the scholarship is very limited. Therefore, I would have a shortfall around $7000. Financially, it's still manageable, however I'm still not sure about the academic & research quality in the University of Delaware. 

So... Should I go for PhD now or push myself to the limit this year and re-apply again for the school that I actually wanted? 

Monday, February 18, 2013

Prayer

Lord, lead me today as You see best. Use the gifts You have given me to encourage others on their journey. Help me not to compare myself with others but to be content with who You have made me to be.

Monday, January 28, 2013

Bimbang

Setelah lama ga nge-blog, mari kita posting yang super gak mutu. Cuman curhat doang isinya.

Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan. Apalagi menunggu sesuatu yang bener-bener diharapkan. Yah gw sekarang lagi nunggu pengumuman admission PhD. Gw apply sendiri ke 6 universitas.  Terus yang Fulbright, mereka apply 5 universitas. Tapi status gw untuk Fulbright masih diombang ambing. Sampe sekarang semuanya lom dapat pengumumannya. Gw terima-terima saja kalau ga ketrima univnya. Tapi, jujur gw bingung banget setelah itu gw mau ngapain? Re-apply? Atau  diem aja di Fasilkom?  Mroyek ? 

Bisa aja sih re-apply, tapi effortnya gede banget. Dan umur gw udah.... hiks taon ini kepala 3! Ya pengen settle gitu ceritanya. Okelah, sekolah bisa kapan saja, tapi gw punya rencana sendiri. Tahun lalu gw udah all out. Gw bikin 6 essay berbeda utk 6 universitas. Tes GRE sampe 2 kali dll. Jadi pengennya ya ini once in a lifetime attempt gitu deh. Cuapek soalnya! Ga enak juga minta-minta surat rekomendasi lagi ke 2 supervisor gw di Belanda, taon kemaren udah bener-bener ngerepotin mereka.  Bisa aja sih S3 ke Belanda, lebih gampang admissionnya. Tapi bener2 ga suka negaranya. Cukup sudah gw S2 saja disana. 

Kalau diem doang di Fasilkom gw ngerasa gw ga berkembang. Datar-datar saja jadinya. Bisa aja sih S3 di Fasilkom, sama aja sih menurut gw mau S3 dimana aja juga. Toh tergantung kitanya, tergantung paper yang dihasilkan kayak gimana. Walau tentu saja pengen S3 di luar biar bisa dapet supervisor "ternama", tp berdasarkan pengalaman gw dulu di Belanda supervisor ga terlalu ngaruh, gw belajar sendiri hampir semuanya. Tapi yang bikin kurang sreg, kalau S3 disini pasti sambil mengajar dan tentunya SKS gw ga bakal dikurangin. Takut gak konsen.

Mroyek? Yah ini maksudnya buat sampingan. Bikin apps apa kek. Tapi jujur aja susah bgt cari partner buat mrogram. Gw bukan kayak Gatot yang bener2 luar biasa usahanya dalam hal-hal seperti ini. Gw dulu terlalu berpikir sederhana. Gw pikir semuanya akan mulus-mulus saja, uang bukanlah segalanya dll. Maklum waktu itu masih idealis. Sekarang sih jadi lebih realistis hehehe.

Hmm, bener-bener bingung, bimbang. Kalau lagi kayak gini pasti inget bokap. Tapi sayang dia gak bisa ditanyain lagi. Moga-moga Bokap yang satunya memberi penerangan bagi gw :-)